27 Agustus 2008

Kisah Tiga Lelaki berjiwa Malaikat...

Tiga Lelaki Berjiwa Malaikat

PDF

Cetak

E-mail

Rabu, 13 Agustus 2008

Oleh: Habiburrahman El Shirazy

Malam Hari Raya Idul Fithri telah tiba. Kota Damaskus terang benderang oleh cahaya lampu beraneka warna. Takbir bergemuruh terdengar membahana.

Dalam sebuah rumah yang sederhana, seorang wanita berjilbab putih, berkata kepada suaminya, ”Abu Abdillah suamiku, besok hari raya. Anak kita tidak memiliki pakaian baru seperti anak-anak tetangga lainnya. Ini semua disebabkan tindakan borosmu!”

”Aku tidak boros, aku hanya menginfakkan hartaku dalam kebaikan dan demi membantu orang-orang miskin yang membutuhkan. Ini bukan suatu pemborosan, Ummu Abdillah, ”jawab sang suami.

”Baiklah, kumohon sekarang, tulislah surat dan kirim kepada salah seorang sahabatmu yang baik dan ikhlas, agar mereka menyisihkan sebagian hartanya kepada kita. Jika keadaan kita membaik, insya Allah akan kita ganti.”

Abu Abdillah memiliki dua teman karib yang berhati ikhlas. Mereka bernama Hamdi dan Usamah. Mendengar permintaan istrinya itu, dia segera menulis surat. Lalu, dia memberikan surat itu kepada pembantunya agar membawanya ke tempat sahabatnya, Hamdi. Kemudian, pembantunya itu pergi ke tempat hamdi dan menyerahkan surat yang ditulis oleh tuannya.

Hamdi membacanya dengan seksama. Dia segera tahu bahwa sahabatnya yang pemurah sedang dalam kesempitan dan kesusahan karena tidak memiliki apa-apa.

Hamdi berkata kepada utusan Abu Abdillah, ”Aku tahu tuanmu telah menginfakkan semua hartanya dalam kebaikan. Ambillah kantong ini dan katakan kepada tuanmu, hanya inilah harta yang aku miliki pada malam hari raya ini.”

Pembantu Abu Abdillah bergegas kembali kepada tuannya dan menyerahkan kantong pemberian Hamdi itu. Abu Abdillah membuka kantong itu. Ternyata, isinya uang seratus dinar.

Dia berkata kepada istrinya dengan penuh gembira, ”Ummu Abdillah, lihat ini, Allah telah mengantarkan seratus dinar kepada kita.”

Sang istri pun gembira dan berkata pada suaminya, ”Cepatlah pergi ke pasar untuk membelikan pakaian dan sandal baru untuk anak-anak kita. Juga jangan lupa membeli daging dan makanan.”

Pada saat Abu Abdillah bersiap-siap hendak pergi ke pasar, terdengar seseorang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Ternyata, yang datang adalah pembantu Usamah, sahabatnya. Pembantu Usamah itu datang dengan membawa surat minta pertolongan kepada Abu Abdillah agar dia berkenan meminjami uang untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo. Tanpa berpikir panjang, Abu Abdillah langsung menyerahkan kantong berisi uang seratus dinar yang ada di tangannya, kepada pembantu Usamah. Dia menyerahkan semuanya, tanpa mengambil satu dinarpun.

”Katakan pada Usamah, tuanmu. Segera lunasi hutangnya malam ini juga,” pesan Abu Abdillah pada pembantu itu.

Mengetahui hal itu, terang saja Ummu Abdillah marah kepada Abu Abdillah yang lebih mementingkan sahabatnya daripada anak-anaknya.

”Kau ini tega melihat anak kita bersedih dan kelaparan. Kalau pun kau mau membantu Usamah, mengapa tidak setengah dari uang itu saja? Mengapa kau berikan semuanya?” ucap Ummu Abdillah sewot.

Sang suami menjawab, ”Temanku meminta pertolonganku, bagaimana mungkin aku tidak memberinya? Aku juga tidak tahu apakah uang di dalam kantong itu cukup untuk melunasi hutangnya, atau tidak?”

Ummu Abdillah terdiam dan beristighfar untuk meredam kejengkelannya kepada sang suaminya yang terlalu baik kepada orang lain itu.

Beberapa jam kemudian, terdengar orang mengetuk pintu. Abu Abdillah membuka pintu. Dia kaget bukan kepalang. Ternyata, yang datang adalah sahabatnya, Hamdi. Serta merta dia memeluk dan menyambut dengan hangat, lalu mempersilahkannya masuk.

Setelah duduk, Hamdi berkata, ”Aku datang untuk bertanya kepadamu tentang kantong ini. Apakah ini kantong yang aku kirim kepadamu dan di dalamnya ada seratus dinar?”

Abu Abdillah mengamati kantong itu penuh seksama.

Dengan nada kaget, dia berkata, ”Ya...ya...benar...ini adalah kantong itu. Ceritakanlah kepadaku, Hamdi, bagaimana kantong ini bisa kembali lagi kepadamu?”

Hamdi lalu bercerita, ”Ketika pembantumu datang kepadaku membawa suratmu. Aku berikan kantong itu, dan itu adalah satu-satunya harta yang aku punya. Karena aku tidak punya apa-apa lagi, maka aku langsung minta bantuan pada Usamah. Betapa terkejutnya aku ketika Usamah memberikan kantong berisi seratus dinar, yang tidak lain adalah kantong yang aku kirimkan kepadamu tanpa kurang satu dinar pun. Aku takjub, untuk lebih yakin, aku bertanya padamu, benarkah ini kantong yang aku kirimkan kepadamu? Untuk itu, aku datang ke sini untuk menguak rahasia ini.”

Abu Abdillah tertawa dan berkata, ”usamah lebih mengutamakan kamu daripada dirinya, dan memberikan kantong itu, sebagaimana kamu lebih mengutamakan diriku daripada dirimu sendiri, Hamdi.”

”Dan kamu lebih mengutamakan Usamah atas dirimu dan keluargamu. Apa pendapatmu, Abu Abdillah, jika kita bagi uang ini bertiga?” kata Hamdi sambil tersenyum.

Abu Abdillah menjawab, ”Barakallahu fika, semoga Allah memberkahimu, Hamdi.”

Akhirnya, uang seratus dinar itu dibagi tiga.

Kisah keluhuran budi tiga lelaki ini, didengar oleh Khalifah. Subahanallah, sang Khalifah pun sangat tersentuh ketika mendengarnya. Ternyata, masih ada di antara umat Nabi Muhammad Saw yang berjiwa mulia, laksana malaikat. Khalifah langsung memberi perintah kepada bendahara negara untuk memberi hadiah kepada tiga lelaki berjiwa malaikat itu, masing-masing sebesar sepuluh ribu dinar.

Begitu menerima uang dari Khalifah, Abu Abdillah langsung sujud syukur lalu menemui istrinya dengan muka berseri-seri, ”Ummi Abdillah, sekarang lihatlah, apa pendpatmu, apakah Allah menelantarkan kita?”

Sang istri menjawab dengan mata berkaca-kaca. ”Tidak suamiku. Demi Allah, Dia Maha Pemurah, Dia tidak mungkin menelantarkan kita. Bahkan, Dialah yang melimpahkan rezeki-Nya kepada kita, dengan tiada putusnya.”

”Sekarang kau tahu, istriku...bahwa menginfakkan harta di jalan Allah adalah bisnis yang pasti keuntungannya dan tidak akan rugi selamanya.”

Sumber: Ketika Cinta Berbuah Surga

Tidak ada komentar: